Sunday, April 14, 2013

My val's with you
Apakah jarak jauh membuat valentinemu jadi hambar??
Jangan sampai jarak menjadi rintangan terberat dalam hubunganmu...
Share sedikit tentang valentineku..
meskipun jarak yang terbentang sangaaaaat lebar,, tapi dengan kemajuan teknologi membuat segala sesuatunya lebih mudah :)
itu adalah kadoku untuk dia :)
dan....
ini kadonya untukku
bisa tebak isinya apa?

Sunday, February 17, 2013


Sepenggal novel ...
Suara Traly membangunkan Aneta dari tidurnya. Dengan malas ia melirik ke weker pinguinnya yang bertengger di meja belajarnya. Masih jam 4 pagi. Dengan langkah malas ia turun dari tempat tidurnya, menghampiri Traly yang masih mengonggong di depan pintu. Ketika melihat kedatangan tuannya, Traly mengibas-ibaskan ekornya sambil mengitari tuannya.
“Kamu kenapa sih Tral? Baru juga jam 4.” Aneta memegang tali leher Traly sambil mengelus-elus bulu keemasan anjing kesayangannya.
Tiba-tiba ia mendengar suara langkah orang. Aneta berusaha menajamkan telinganya. Di sela geraman Traly, Aneta mendengar suara orang berbisik-bisik. Dengan hati yang sedikit ketakutan, Aneta berusaha mengintip dari lubang kunci pintu kosannya. Astaga, ada maling!
Dengan terburu-buru, Aneta kembali ke kamarnya sambil menyeret Traly yang masih ingin berdiri di depan pintu.
“Ayo, Tral.. kita harus mencari bantuan.” Aneta menarik Traly dan berusaha memelankan suaranya.
Dengan sigap Aneta langsung mengambil telepon genggamnya. Dan menekan nomor Ibu kosnya. Untung saja kemarin siang dia tidak lupa mencatat nomor telepon pemilik kosan ini.
Well ini mungkin masih sangat pagi. Sangat tidak nyaman rasanya mengganggu orang yang sedang tidur. Tapi bagaimana lagi, dari pada terjadi hal yang tidak diinginkan.
Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya terdengar suara berisik di seberang sana.
“Halo.” Suara Bu Hermin yang terdengar masih mengantuk membuat Aneta semakin merasa bersalah.
“Halo Ibu. Ehmm.. ini Aneta. Penghuni kosan yang baru pindah kemarin siang” Dengan sedikit perasaan takut Aneta berusaha tetap tenang.
“Oh.. Aneta. Ada apa An, kok jam segini sudah menelpon?”. Suara Ibu Hermin sudah lebih stabil sekarang.
“Bu, saya mendengar ada seseorang di luar sana, Bu. Saya takutnya maling, Bu.” Dengan suara gemetar Aneta memegang kepala Traly.
“Hah, maling? Di sini? Pak.. Pak ada maling Pak.” Terdengar Ibu Hermin berusaha membangunkan suaminya.
“Apa, maling! Mana.. mana..!” Suara berisik terdengar di seberang sana. Tidak beberapa saat kemudian Ibu Hermin melanjutkan pembicaraan. Terdengar Ia berusaha tenang.
“An, kamu jangan keluar dulu sampai malingnya sudah ketangkap ya!” Terdengar suara bisikan Ibu Hermin di seberang sana. Aneta nyaris tidak bisa mendengar suara beliau.
“Iya, Bu.” Dengan patuh Aneta menjawab dan kemudian memutuskan pembicaraan.
Suasana sesaat sunyi. Aneta hanya bisa menunggu sambil terus memegangi tali pengikat Traly. Lebih untuk menenangkan diri sendiri.
Tiba-tiba terdengar suara ribut di luar, kemudian disusul suara ketukan di pintu kos Aneta.
“Aneta, An.” Suara Ibu Hermin terdengar di balik pintu.
Setelah mengganti baju, akhirnya Aneta pun keluar.
“Malingnya sudah ketangkap, Bu?” Aneta melongokkan kepala sambil menggendong Traly.
“Ya ampun.. Ibu minta maaf, An.” Ibu Hermin menunjukkan raut menyesal.
“Lho kenapa Ibu minta maaf?” Aneta lantas membuka pintu lebih lebar lagi supaya bisa keluar.
“Itu, Ibu lupa kalau hari ini, Daniel anak Ibu baru pulang dari Aussie. Nah, yang tadi kamu kira maling itu anak Ibu. Dia tidak punya kunci rumah ini, makanya dia berusaha masuk lewat jendela kamarnya.” Ibu Hermin menjelaskan panjang lebar dengan ekspresi wajah yang berubah-ubah, sedih, lalu senang.
“Syukurlah, Bu. Untungnya bukan maling beneran.” Mau tak mau Aneta merasa lega juga, karena maling yang ditakuti ternyata tidak ada.
“Ibu mau memperkenalkan kamu tapi sepertinya Daniel terlalu kecapaian. Mungkin besok aja kalau sudah terang ya.” Ibu Hermin menjelaskan dengan raut yang sedih. Mungkin kalau saja ada pencarian aktris ibu-ibu, Ibu Hermin akan langsung lolos tanpa proses seleksi. Ekspresi beliau mudah sekali menyesuaikan dengan suasana hatinya.
“Oh begitu, Bu. Untung saja bukan maling, Bu. Aneta merasa lega dan sedikit kecewa, karena tidak berjumpa dengan orang yang sudah menganggu tidurnya. Sekarang kan sudah zamannya teknologi, masa menelpon untuk minta dibukakan pintu saja tidak bisa.
“Ya sudah, Ibu permisi dulu ya, An.” Suara Ibu Hermin mengagetkan Aneta.
“Eh, iya, Bu.” Akhirnya Aneta pun menutup pintu kosannya.
Aneta sedikit kebingungan mencari Traly, anjing mungilnya. Ternyata dia sudah meringkuk di tempat tidur.
“Haa.. kamu mentang-mentang sudah tahu aman, main langsung tidur ya! Nakal kamu!” Aneta berusaha membangunkan anjing kesayangannya itu.
“Tapi makasih ya, Tral. Kalau itu tadi orang jahat, trus kamu ga ada bangunin pasti aku udah kenapa-napa deh.” Dengan lembut Aneta mengelus bulu halus Traly.
“Wah, sudah jam 04.30. Mau tidur sudah nanggung. Beres-beres aja deh, buat sarapan trus sekolah. Hmm.. First day of school.” Sambil bersiul gembira Aneta merapikan tempat tidurnya, tentu saja setelah Ia memindahkan Traly ke boxnya.
Aneta cukup beruntung mendapat tempat kos ini.  Pemilik kos ini sangat ramah, selain itu beliau juga mengijinkan Aneta untuk memakai dapur rumah. Biaya yang harus dikeluarkan Aneta untuk menyewa tempat kos ini juga tidak terlalu mahal. Meskipun ini masih hari pertama Aneta tinggal di daerah ini, tapi Aneta sangat senang. Suasana lingkungan sekitar kosannya sangat asri. Apalagi Ibu Kosnya adalah tipe ibu rumah tangga yang menyukai bunga. Di taman rumahnya ada beberapa bunga yang sudah mekar. Ia sangat suka menyempatkan diri menikmati bunga yang mekar di pagi hari. Jarak tempat kos Aneta dengan sekolah tempat ia mengajar tidak terlalu jauh, sehingga ia tidak perlu terlalu terburu-buru.
Hari ini bukanlah hari pertamanya di Jogyakarta. Sudah 4 tahun lebih ia tinggal di kota Keraton ini. Empat tahun lalu ia memutuskan untuk berkuliah di salah satu universitas di kota ini. Saat itu Ibunya sangat melarang keputusannya. Aneta sangat mengerti, apalagi ia adalah putri satu-satunya di keluarganya. Kakak lelakinya yang tertua, Teo saat ini sudah bekerja meneruskan usaha mebel ayahnya, sementara adik lelakinya, Bayu saat ini sedang menginjak bangku SMA. Kadang ia sangat merindukan berada di tengah-tengah keluarganya, dimanjakan oleh Teo dan Bayu, dan seperti yang ia lakukan pagi ini, ia tidak perlu memusingkan hari ini akan makan apa. Namun ini adalah keputusannya. Sebagai anak yang selalu dimanjakan dari kecil, ia merasa ini adalah saatnya untuk mandiri. Ia sangat menyukai anak-anak, itulah sebabnya ia memilih untuk berkuliah di jurusan pendidikan. Dan saat ini ia telah menjadi seorang guru. Ia sangat bangga, akhirnya ia dapat meraih cita-cita yang ia idamkan. Meskipun banyak orang beranggapan bahwa guru adalah pekerjaan yang kurang menjanjikan, namun ia beranggapan bahwa guru bukan hanya sekedar pekerjaan, tapi lebih dari itu.
Setelah selesai membereskan piring bekas sarapannya, Aneta langsung membawa Traly kepada Ibu Hermin. Beliau sedang memasak di dapur.
“Bu, saya mau pergi ke sekolah dulu.” Aneta berjalan sambil menarik tali Traly. Bu Hermin yang sedang asyik memasak pun menghentikan aktivitasnya.
“Aduh, cepat sekali, An. Rasanya baru tadi pagi kamu telepon Ibu, sekarang kamu udah mau kerja aja. Wah kamu ayu sekali. Kenapa kamu tidak jadi model saja, An? Eh, sudah sarapan belum?” Ibu Hermin berbicara dengan tempo yang sangat cepat.
“Ibu ini gimana tho, kan kalau gurunya cantik kayak begini muridnya jadi betah belajar.” Sambung Pak Anno yang sudah memakai pakaian kerjanya.
Aneta hanya tersenyum mendengar sanjungan kedua pasangan tersebut. Kemudian ia menyahut, “Saya yang mencerdaskan calon modelnya saja Pak. Supaya mereka tidak menjadi model yang buta huruf.” Gema suara mereka bertiga pun memenuhi ruangan dapur.
Setelah berpamitan dan menitipkan Traly, Aneta pun undur diri dari gurauan di pagi hari itu. Ia takut terlambat. Apalagi ini adalah hari pertamanya. Karena terburu-buru, saat melewati pagar, ia hampir saja menabrak seorang pria yang sepertinya baru selesai berolahraga. Ia tidak dapat dengan jelas memperhatikan wajah pria itu karena ia mengenakan kerudung jaketnya.
Saat melewati pria itu, Aneta mencium aroma yang baru kali ini ia temui. Aromanya unik. Saat mencium aroma tersebut, pasti si pencium akan merasa bahwa pria yang memakai parfum itu adalah lelaki yang gentleman. Namun ia tidak sempat berlama-lama memanjakan indra penciumannya. Ia sudah hampir terlambat. Ia berusaha mengingatkan kepada dirinya bahwa ini adalah hari pertamanya.

Jogjakarta
Kalau bukan cuaca yang sedang buruk, ia tidak mungkin sampai di kota ini sepagi ini. Telepon genggamnya juga sepertinya sedang tidak memihaknya. Lowbat! Padahal ia harus menghubungi Ibunya supaya ia tidak perlu mengendap-endap demi supaya bisa masuk rumah. Tapi mau bagaimana lagi. Tinggal selangkah dia akan segera sampai di rumahnya.
Setelah mengambil bagasi, ia segera keluar mencari taksi. Tidak banyak yang berubah dari kota ini. Rasanya baru kemarin ia meninggalkan kota kelahirannya ini. Karena prestasinya yang cukup bagus, ia lantas langsung mendapat pekerjaan di negeri Kangguru itu. Bertahun-tahun di negeri orang ternyata tidak dapat menghapus kenangan-kenangan di kota yang ia cintai ini. Rasanya seperti baru kemarin ia berdiri seperti orang gila di tengah derasnya hujan yang mengguyur Jogjakarta. Taksi yang ia tumpangi berhenti di depan sebuah rumah. Ia pun turun dan membayar ongkosnya.
Suasana rumah masih sunyi. Ia harus segera mencapai jendela kamarnya supaya bisa langsung masuk ke rumah dan mengistirahatkan badannya yang letih ini. Tapi kenapa ada suara gonggongan anjing? Seingatnya ibunya tidak pernah bercerita bahwa mereka baru mengadopsi anak anjing. Sialan, suaranya gonggongannya makin kencang lagi. Kalau begini caranya anjing itu malah akan membangunkan ayah dan ibunya. Padahal ia tidak ingin menganggu tidur mereka. Lampu kamar itu tiba-tiba menyala. Siapa itu? Tiga tahun ia tidak pulang ke rumah ternyata banyak yang berubah. Setahunya ruangan itu dulu adalah gudang. Kenapa ada orang di gudang? Bodo amat lha! Yang penting ia harus bisa segera masuk rumah.
Tiba-tiba Ibu dan Bapaknya muncul dari teras depan. Akhirnya ia membangunkan tidur lelap mereka. Tapi kenapa mereka malah berbisik-bisik?
“Bu.” Tidak mau menunggu lama di luar, Daniel memanggil Ibunya.
“Daniel? Kenapa Kau mengendap-endap seperti maling! Harusnya Kau telepon dulu biar bisa dijemput sama Bapak Kau!” Ibunya datang menghampiri anak semata wayangnya itu.
“Hp saya lowbat, Bu.” Daniel merasa menyesal sudah membuat cemas kedua orang tuanya itu.
“Kau kenapa tidak lewat pintu depan saja.” Sambung  Bapaknya yang dari tadi hanya berdiri diam sambil memegang sapu.
“Sebenarnya saya tidak mau membangunkan Bapak sama Ibu. Tapi malah jadinya membangunkan.” Daniel sangat merindukan kedua orang tuanya. Mereka tampak sudah semakin tua. Tapi masih gagah.
“Ya sudah, ayo masuk. Pasti kamu sudah kecapaian.” Ibunya lantas merangkulnya supaya segera masuk ke rumah.
“Bu, yang tinggal di gudang siapa?” Tanya Daniel sambil menarik kopernya.
“Aduh! Ibu lupa, maklum sudah tua. Aneta pasti sudah ketakutan. Kau masuk dulu saja. Besok kalau sudah hilang capeknya Ibu ceritakan.” Ibunya lantas keluar rumah lagi. Karena sudah sangat lelah, akhirnya ia menuruti saja perkataan ibunya.
Sambil menyeret kopernya ia segera menuju kamarnya. Bukannya ia tidak peduli dengan tetangga sebelah yang disebutkan ibunya, tapi ia sudah sangat lelah. Tanpa sempat mengganti bajunya, ia pun langsung jatuh tertidur.
Satu jam berlalu, tiba-tiba ia dikejutkan suara seseorang yang sedang bermain dengan anjing. Seingatnya ia tinggal di apartemen. Tidak ada anjing, kenapa ia mendengar suara anjing? Saat membuka matanya ia baru tersadar kalau ia sudah ada di rumahnya, Jogja. Daniel melihat jam tangannya, jam 6. Ia baru teringat akan telepon genggamnya yang tadi ia letakkan begitu saja di atas meja belajarnya. Handphone ini tidak akan bisa menyala sebelum ada energy yang masuk ke dalamnya, tapi chargernya tertinggal di apartemennya. Tanpa memedulikan lagi akan keadaan handphonenya, Daniel segera mencari jaket dan sepatu ketsnya. Olah raga pagi adalah salah satu rutinitas harian yang baginya menjadi kebutuhan pokok. Istirahat satu jam ternyata tidak cukup menghilangkan seluruh keletihannya. Ia memutuskan untuk berjalan di sekitar kompleks perumahannya saja.
Beberapa menit berlalu, tiba-tiba ia berhenti di depan sebuah rumah. Ia baru tersadar mengapa tiba-tiba ia ada di sini. Tiba-tiba pintu rumah itu terbuka, seorang wanita dengan pakaian yang rapi keluar. Keduanya terperanjat. Daniel teringat akan kenangannya semasa kuliah dulu. Dia teringat kata-kata yang diucapkan oleh gadis itu bahwa mereka tidak akan pernah terpisahkan. Itu beberapa hari tepat sebelum akhirnya gadis itu memutuskan hubungan mereka. Saat itu Ia hanyalah seorang lulusan arsitek yang masih belum punya pekerjaan. Gadisnya pergi kepada pria lain yang lebih matang menurutnya.
“Halo Iel.” Daniel dikejutkan oleh suara Tiara.
“Eh, hai.. apa kabar?” Daniel berbasa-basi berharap itu bisa menutupi keterkejutannya.
“Baik. Kalo kamu gimana?” Tiara membalas basi-basi Daniel sambil tersenyum.
Good. Yeah, aku baik. mau kerja ya?” Tanya Daniel.
“Ya, seperti yang kamu lihat.” Sebenarnya Tiara sangat mengagumi pria yang satu ini. Dia selalu terlihat penuh karisma.
“Oke then, kalo gitu aku cabut dulu ya. Bye.” Daniel tidak ingin hatinya sakit lagi untuk kedua kalinya. Akhirnya dia memutuskan untuk meninggalkan wanita itu berdiri di pagar seorang diri.
“Sial! Niatnya pengen refreshing, malah jadi stress. Damn!” Daniel menggumam sendiri di depan pagar rumahnya.
Tiba-tiba pintu pagar terbuka. Seorang wanita keluar dengan pakaian yang rapi. Daniel tidak sempat melihat wajahnya karena sepertinya dia terburu-buru. Mungkin itu wanita yang tadi sempat disebutkan namanya oleh ibunya. Karena ia terburu-buru, sepertinya ia tidak menyadari kalau kertasnya terjatuh. Daniel mengambilnya. Tulisan di kertas itu sangat berwarna. Judulnya ‘welcoming letter’. Apa ini? Ia pun membaca isinya. Ada dua hal yang ia ketahui. Ternyata itu adalah surat penyambutan muridnya dan wanita itu bernama Deandra Aneta Rahayu. Nama yang terdengar cukup beda di telinga Daniel. Sepertinya isi surat ini cukup penting. Tapi wanita itu sudah tidak terlihat olehnya. Dia akan mengantarkannya. Tapi kemana ia harus mencarinya. Ibunya pasti tahu.
Dengan langkah terburu-buru, Daniel menuju dapur tempat ibunya sedang memasak.
“Bu, wanita yang ngekos di garasi kita itu kerja di mana?” Tanya Daniel.
“Garasi?” Ibunya melihat ke anaknya muncul secara tiba-tiba di sampingnya.
Kemudian beliau melanjutkan, “Itu bukan garasi lagi sekarang Dan. Bapakmu dan Ibu bersepakat untuk mengubah fungsi ruangan itu. sekarang itu sudah diubah menjadi kamar.”
“Iya, iya. Maksudku bekas garasi itu.” sahut Daniel dengan raut yang tidak sabar menunggu jawaban ibunya.
“Dia itu guru di SD St. Paulus, bekas sekolahmu dulu.” Sahut ibunya sambil memasukkan beberapa potong tempe ke penggorengan.
“Ok, makasih ya, Bu.” Daniel meninggalkan ibunya sambil mengambil sepotong tempe yang sudah matang.
Daniel kembali mengenakan kembali sepatunya yang tadi dia letakkan raknya. Dia segera menuju ke sekolah yang dimaksud ibunya.
Sudah banyak siswa yang datang ke sekolah. Sekolah ini merupakan salah satu sekolah yang cukup bergengsi di kota ini. Sekolah ini membuka jenjang pendidikan bagi siswa SD hingga SMA, sehingga kawasannya sangat luas. Semenjak kepergiannya ke Aussie, Daniel tidak pernah lagi menyambangi sekolahnya ini, sehingga dia merasa heran ketika melihat siswa mengantri di pintu masuk sekolah. Ada apa? Itu adalah pertanyaan pertama yang muncul di pikirannya. Setelah dekat dengan pintu gerbang sekolah, akhirnya dia baru menyadari kalau ternyata siswa-siswa yang datang sedang menyalami guru mereka yang menyambut di pintu gerbang sekolah. Meskipun dia sudah banyak mengamati kejadian serupa di beberapa sekolah di Aussie, tapi ia belum pernah hal yang seperti ini di Indonesia. Dulu ketika dia masih di sini, para guru juga tidak pernah menyambut siswa-siswa yang datang.
Akhirnya ia mendatangi petugas keamanan yang berdiri di luar pintu gerbang untuk memmabntu beberapa siswa yang baru turun dari mobil.
“Selamat pagi, Pak.” Daniel bertanya kepada salah seorang satpam yang kelihatannya sedang tidak sibuk.
“Ya, Mas. Ada yang bisa saya bantu?” sahut satpam itu.
“Ini, saya mau bertanya. Apakah Ibu deandra Aneta sudah datang?” Sebenarnya ia tahu wanita itu sudah sampai ke sekolahnya. Dia hanya ingin memastikan yang mana orangnya.
“Oh, Ms. Aneta. Sudah, Mas. Itu beliau.” satpam yang ditanyai itu menjawab dengan ramah sambil menunjuk ke salah seorang wanita yang sedang menyalami seorang siswa SMA.
Wanita itu kelihatan masih sangat muda. Raut wajahnya terlihat sangat ayu, ditambah dengan lesung pipi di pipi bagian kirinya. Kulitnya kuning langsat. Dia tidak terlalu tinggi, mungkin sekitar 155an. Bahkan siswa SMA yang sedang disalaminya terlihat lebih tinggi dibandingkan wanita itu.
Daniel mengurungkan niatnya untuk memberikan kertas yang dia pegang secara langsung. Dia memilih menitipkan kertas itu kepada satpam yang tadi ditanyainya.
“Pak, saya mau menitipkan kertas ini sama Ibu Aneta.” Daniel lantas menyodorkan kertas yang ia pegang.
“Orang tua dari siapa, Pak?” Daniel cukup terkejut mendengar stapam itu memanggilnya pak. Tadi mas kok sekarang jadi pak. Memangnya tiba-tiba mukaku kelihatan seperti bapak-bapak yang sudah punya anak sepuluh? Tapi ia berusaha mengabaikan kata-kata tersebut.
“Bukan Orang Tua siapa-siapa, Pak. Ini miliknya Ibu itu.” jawab Daniel sambil tersenyum.
“Bapak namanya siapa? Supaya nanti saya bisa menyampaikan kepada Ms. Aneta dengan jelas.” Kata satpam itu saat Daniel akan meninggalkannya.
“Bilang saja dari temannya, Pak.” Daniel menyahut sekenanya. Kemudian ia segera berlalu dari tempat itu. Sebenarnya ia tidak terlalu mengerti kenapa ia mau repot-repot mengantarkan surat itu. Dia belum mengenal wanita itu. Selain itu dia juga tidak akan lama di sini. Atasannya hanya memberikan waktu cuti selama 2 minggu. Dia memang sengaja tidak mengambil jatah cutinya untuk waktu-waktu seperti ini. tiba-tiba angannya membawanya ke percakapan 3 hari yang lalu. Saat itu ia sedang berada di kantornya. Tiba-tiba telepon genggamnya bergetar. Ibu. Ada apa ibunya menelepon sepagi ini. Dia melihat jam tangannya, pukul 8AM. Berarti di Jogja masih pukul 4an. Terdengar suara ibunya di seberang sana saat ia menggeser tombol berwarna hijau yang ada di layarnya.
“Ya, Bu.” sahut Daniel sambil menyandarkan punggungnya.
“Dan. Bagaimana kabar kamu nak? Ibu kangen sama kamu.” Suara Ibunya terdengar cukup berat.
“Baik, Bu. Kabar Ibu bagaimana?” Sebagai anak semata wayang Daniel kadang merasa kesepian. Ia cukup dekat dengan ibunya. Namun itu beberapa tahun yang lalu. Sebelum peristiwa itu. Mengingat peristiwa itu rasanya hatinya terasa pedih. Namun semenjak itu ia bertekad bahwa siapa pun tidak akan dapat mengatur hidupnya, termasuk kedua Orang Tuanya.
“Dan.” Suara Ibunya membuyarkannya dari lamunannya.
“Ya, Bu.” Sahut Daniel.
“Kamu kapan pulang?” Sepertinya sudah lama dia memang tidak pulang. Apakah ini waktu yang tepat untuknya pulang?
“Tidak tahu, Bu.” Sahut Daniel sekenanya.
Terdengar helaan napas di seberang sana. “Dan, Abangmu akan menikah, masa kamu tidak datang. Kalian dulu akrab sekali. Masa kamu tidak mau memberikan selamat kepadanya.”
Ya. Ia lupa kalau akhir bulan ini, itu berarti beberapa hari lagi, abangnya akan menikah. Abangnya itu adalah teman sepermainannya sejak kecil. Dulu ia sangat senang mengikuti kemana saja abangnya pergi.
“Iya, Bu. Nanti kalau saya sudah dapat ijin saya akan datang ke pernikahan abang.” Daniel memang belum mengurus perijinannya. Tapi ia yakin pasti atasannya tidak akan mempersulit perijinannya. Daniel adalah seorang yang workaholic. Dibandingkan dengan rekan kerjanya yang lain, dia memang belum pernah mengambil jatah ijinnya. Dan sekarang, akhirnya di sinilah dia, telah mendapatkan ijin dari atasannya. Dan sedang melakukan hal yang sangat mulia, mengantarkan surat seorang guru yang belum dikenalnya sama sekali.
Saat membuka pintu rumah, hidungnya disambut oleh aroma terasi. Sudah lama Ia tidak mencium aroma ini. Cah kangkung terasi adalah salah satu makanan favoritnya. Meskipun begitu, Daniel tidak langsung menuju ke dapur tempat Ibunya sedang memasak. Ia memilih masuk kamar, mandi, baru setelah itu Ia akan ke dapur. Ia tidak tahu kemana ayahnya, mungkin sudah pergi bekerja. Ia tidak peduli. Tidak ada yang berubah di dalam kamarnya. Meskipun ruangan itu sudah tiga tahun tidak ada tuannya, tapi rupanya Ibunya selalu membersihkan ruangan itu. Daniel melihat sekilas ke telepon genggamnya yang diam tak bernyawa. Kalau ia belum membeli charger, mungkin benda itu tidak akan menyala, sehingga Ia memutuskan kalau siang ini Ia akan pergi membelinya.

“Aduh, di mana welcoming letterku?” Bisik Aneta sambil sibuk membongkar tasnya.
“Pasti Anda Ms. Aneta!” Seru seorang pria tiba-tiba. Aneta langsung berbalik dan menghentikan aktifitas bongkar membongkarnya.
“Iya, Pak.” Balas Aneta sambil mengulurkan tangannya. “Saya masih baru di sini, Pak. Jadi mohon bantuannya.” Lanjutnya sambil berusaha untuk menenangkan hatinya yang sepertinya mau lari marathon.
Lelaki itu menyambut uluran tangan Aneta dan berkata, “Saya Mr. Samuel. Di sini saya adalah wakil kurikulum SD. Kemarin Bapak Andreas menyampaikan kepada saya bahwa akan ada guru baru di SD. Nah, beliau sedang ada rapat ke dinas, jadi saya diminta untuk menyambut Anda.” Sepertinya Mr. Samuel adalah orang yang cukup ramah. Beliau menceritakan secara singkat mengenai sekolah ini kepada Aneta. Kemudian beliau menawarkan kepada Aneta untuk menyambut siswa yang baru datang atau langsung ke ruangannya. Entah mengapa Aneta memilih untuk menyambut siswa. Ia ingin melihat sekilas murid-murid yang akan Ia ajar nantinya. Mengingat murid, Ia teringat lagi dengan welcoming letter itu. Ya, dia adalah guru baru yang akan menjadi wali kelas 2.2. Kemarin siang setelah selesai menyusun barangnya Ia mendapat telepon dari bagian tata usaha sekolah. Di situlah Ia mengetahui bahwa Ia akan menjadi wali kelas. Bagi seorang guru yang baru saja lulus kuliah hal itu cukup menjadi bahan pikiran. Pasalnya menjadi wali kelas sama halnya dengan menjadi ‘Ibu’ di sekolah. Menikah saja belum, apalagi menjadi Ibu. Masih belum terpikirkan olehnya. Bukannya tidak ada yang tertarik, namun Dia yang belum tertarik dengan calon-calon yang mendaftarkan diri.
Setelah berpamitan dengan Mr. Samuel, Aneta langsung menuju ke gerbang sekolah, tempat di mana 2 orang guru sedang menyambut siswa-siswa. Ia langsung bergabung dengan kedua guru tersebut. Kedua guru tersebut adalah Mrs. Hilda yang mengajar English SMP dan Ms. Elvi yang mengajar Social Science SMA. Bertepatan sekali, kedua guru itu perwakilan dari SMP dan SMA dan Ia perwakilan dari SD.
Aneta melihat pria itu. Pria itu adalah pria yang tadi berdiri di depan pagar rumah Ibu Hermin. Sedang apa dia di situ. Siapa dia? Sayang Ia tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Dia terlalu sibuk mengucapkan selamat datang kepada siswa. Satpam yang sedang mengobrol dengannya pria itu menunjuk sekilas kea rah sini. Mungkin pria itu adalah Orang Tua siswa. Cukup wajar kalau pria itu sudah menjadi Orang Tua. Hanya saja, sayang sekali. Aneta terkejut sendiri dengan kata terakhir yang terpikirkan olehnya. Kenapa Ia mengatakan ‘sayang sekali’. Memangnya apa urusannya kalau pria itu sudah punya anak sepuluh! Aneta berusaha memusatkan perhatiannya kepada seorang siswi yang sedang mengulurkan tangannya kepadanya.
Tiba-tiba ia mendengar namanya dipanggil oleh Mr. Samuel. Ia segera menghampiri pria yang memiliki tubuh yang tinggi besar itu. Ternyata ia akan diperkenalkan kepada dewan guru yang sedang berkumpul. Salah satu hal yang paling tidak disukainya saat perkenalan adalah ditanyai beraneka macam pertanyaan. Wajar sih, tapi menurutnya kurang wajar kalau mereka menanyakan hal yang cukup pribadi, misalnya sudah punya pacar belum miss., berapa nomor hpnya miss. Apalagi saat seorang guru menanyakan berapa usianya. Menurutnya itu merupakan hal pribadi yang akan diketahui seiring berjalannya waktu. Bukan masalah kalau misalnya orang tersebut menanyakan langsung kepadanya, namun kalau di depan publik seperti ini Ia merasa kembali masuk ke ruang sidang. Untuk saja bel berbunyi saat seorang guru akan bertanya. Saved by bell.
Akhirnya semua guru di ruangan itu bubar ke ruangan kelasnya masing-masing. Aneta sendiri segera menuju ke kelasnya. Saat masuk kelas, keadaan kelasnya sangat tenang. Ia cukup senang karena kelasnya tidak seperti yang Ia pikirkan sebelumnya. Dia melihat sebuah amplop di atas mejanya yang terletak di belakang kelas. Ia langsung mengambil amplop itu dan membukanya. “Oh God! Ini kan welcoming letterku kenapa bisa tiba-tiba ada di atas meja?” Ia tersenyum sambil memegang erat kertas itu seolah akan terbang terbawa angin. Siapapun yang tadi menemukan surat itu, ia sangat merasa berterima kasih. Dengan welcoming letter di tangannya, ia pun semakin siap menghadapi hari ini.

“Ini kenapa hujan terus sih!” Daniel yang sudah selesai sarapan hanya bisa termenung memandang air hujan dari jendela kamarnya. Sekilas ia melihat anak anjing milik penghuni bekas garasi yang terletak bersebelahan dengan kamarnya. Kasihan anak anjing itu, sepertinya ia kedinginan. Akhirnya Ia memutuskan untuk membawa anak anjing itu ke kamarnya. Suasana rumah sangat sepi. Ibunya sedang pergi ke rumah Bapak Tuanya. Beliau menitipkan anak anjing itu ke Daniel. Akhirnya karena kasihan melihat anak anjing itu kesepian seperti dirinya, ia pun memutuskan untuk mengajaknya bermain. Anak anjing itu sangat lucu, siapa namanya tadi, Traly. Nama yang aneh. Mungkin kalau sudah besar nanti anjing itu akan menemukan pasangan yang namanya mirip dengannya, Troly. Daniel terlalu asyik bermain bersama Traly. Hingga ia tidak menyadari suara tetangga barunya yang sedang membuka pintu kosannya. Anak anjing itulah yang terlebih dahulu menyadari bahwa tuannya sudah pulang. Hewan itu langsung keluar menuju ke kosan itu. Tuannya yang sudah di dalam rumah sontak berteriak gembira saat mengetahui kedatangan anak anjing itu. Namun Ia seperti orang yang melihat hantu saat melihat Daniel berdiri di pintu kosannya. Dia langsung berlari ke kamarnya. Daniel hanya bisa melongo mendapat pemandangan seperti itu. Pasalnya wanita itu hanya memakai kaos dalam dan celana kerjanya. Sebenarnya pemandangan itu tidak membuat Daniel begitu terkejut. Ia sering melihat wanita dengan pakaian seksinya di Aussie. Namun Ia lebih terkejut lagi dengan respon wanita itu, yang berlari seperti orang ketakutan menuju kamarnya. Ia hanya bisa senyum-senyum sendiri mengingat perubahan drastis ekspresi wajah wanita yang tadi ada di hadapannya. Ada apa dengannya!. Mungkin lebih baik ia menyalakan ipadnya saja sekaligus mengecek email yang masuk. Siapa tahu ada email penting yang perlu dicek. Daniel pun tenggelam dalam dunia maya.

Hari ini rasanya cepat sekali berlalu. Rasanya baru tadi pagi ia menemukan dirinya begitu nervous di hadapan para guru, sekarang sudah pukul 15.30. It’s time to go home. Aneta mampir sebentar ke pos satpam untuk menanyakan perihal amplop yang ia terima tadi pagi. Ia sangat ingin berterimakasih kepada orang itu. Namun sayangnya petugas itu bahkan tidak tahu nama si penolong itu. Petugas itu hanya menyampaikan bahwa yang menitipkan suratnya itu adalah temannya. Aneta berlalu dari pos itu setelah mengucapkan terima kasih kepada petugas itu. Seingatnya teman-temannya tidak ada yang tinggal di sekitar sini. Beberapa dari mereka memilih untuk pulang ke kampong halaman mereka masing-masing. Apakah pria yang nyaris ditabraknya tadi pagi. Mungkin saja. tadi ia melihat pria itu berbicara dengan satpam yang tadi ia tanyai. Tapi siapa dia. Aneta merasa sangat gerah. Cuaca yang sangat aneh. Beberapa jam yang lalu hujan sangat deras, sekarang tiba-tiba matahari bersinar seolah tadi tidak ada awan yang menutupi sama sekali. Ia segera mempercepat langkahnya supaya bisa segera sampai di kosannya.
Suasana rumah Ibu Hermin kelihatan sepi. Aneta segera masuk ke rumah sewaannya. Ia ingin segera mandi untuk menyegarkan tubuhnya. Setelah meletakkan tasnya, ia segera melepas baju kerjanya. Tidak ada pikiran curiga sedikit pun saat ia menyambut Traly yang berlari menghampirinya. Hewan ini begitu gembira melihat tuannya datang. Keduanya seperti sedang melepas rindu satu sama lain. Hingga akhirnya tersadarlah Aneta bahwa ada orang lain yang sedang mengamati mereka. Ia begitu terkejut. Siapa itu? Orang jahat? Aneta lebih terkejut lagi saat menyadari ternyata ia tidak memakai baju yang selayaknya. Campuran antara perasaan takut dan terkejut menjadi satu. Satu-satunya tempat untuk menyelamatkan diri adalah kamarnya. Setidaknya kalau ia berada di kamarnya ia bisa terhindar dari orang tak dikenal itu selama beberapa saat. Aneta memutuskan untuk berada di kamar sambil menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun sepertinya keadaan di luar sangat sunyi. Jangan-jangan orang itu sedang menunggunya keluar. Aneta berusaha mengintip dari balik pintunya. Perlahan-lahan ia mengamati, ternyata tidak ada orang di ruang tamu kosannya yang cukup sempit itu. Setelah meyakinkan penglihatannya, Aneta memberanikan diri untuk keluar dan mengecek keadaan sekitar. Tidak ada siapa-siapa. Ia pun mengunci pintu kosannya dan segera mandi.
Ternyata mandi memang bisa membantunya untuk berpikir jernih. Ia baru teringat kalau Ia belum membeli makanan untuk Traly. Pasti dia sangat kelaparan. Kasihan sekali. Traly merupakan anjing keturunan golden trailer. Aneta mendapatkan hewan yang lucu itu saat Ia berjalan-jalan bersama kakaknya. Ia jatuh cinta pada pandangan pertama saat melihat hewan itu di sebuah toko hewan. Kakaknya kemudian membeli hewan yang memiliki bulu keemasan itu sebagai hadiah kelulusan Aneta. Sejak saat itu Aneta berjanji kalau Ia akan menjaga hewan itu dengan sepenuh hatinya. Cukup sulit mencari tempat kos yang mengijinkan penghuninya membawa hewan peliharaan. Namun dia merasa sangat beruntung karena Ibu Hermin mengijinkannya membawa hewan peliharaan. Kalau dilihat-lihat, spertinya Ibu Hermin bukanlah orang yang berkekurangan. Rumahnya cukup besar. Saat Aneta melihat wanita paruh baya itu, Ia melihat ada yang kurang dalam sorot matanya. Sepertinya beliau merasa kesepian. Ibu Hermin menyambutnya dengan tangan terbuka. Ia dibawa ke sebuah ruangan. Di dalam ruangan itu terdapat ruangan lagi. Tidak terlalu besar, tapi cukup untuknya. Dia merasa senang sekali. Ruangan yang ada di bagian dalam dapat ia gunakan sebagai kamar tidur, sementara yang di bagian luar dapat ia jadikan tempat untuk mengerjakan tugas atau kalau-kalau nanti ada tamu yang datang. Sayangnya kamar mandinya terletak di luar, di belakang dapur rumah itu. tapi tidak masalah. Saat ini susah mencari tempat kos yang mengijinkan membawa hewan peliharaan.
“Traly, aku harus pergi buat beli makananmu. Kamu berani kan di rumah sendiri? Tapi makan dulu ya. Ini masih ada sedikit makananmu.” Traly menuangkan makanan anjing ke dalam mangkok berwarna perak. Sedih sebenarnya meninggalkan hewan yang terlihat sangat lugu itu sendirian. Tapi ia harus pergi.
Setelah mengelus puncak kepala hewan itu, Aneta lalu keluar dan menutup pintu. Ia akan menitipkan Traly ke Ibu kosnya saja. Aneta pun mengetuk pintu rumah Ibu kosnya. Rumah itu terlihat sepi. Sepertinya tidak ada orang di rumah. Saat ia akan beranjak meninggalkan teras rumah itu, tiba-tiba pintu terbuka. Seorang pria keluar. Pria itu memiliki badan yang cukup tinggi dan tegap. Mungkin sekitar 20cm lebih tinggi dari tubuhnya. Pria itu memiliki warna kulit sawo matang. Wajahnya terlihat tegas, meskipun sebenarnya ia cukup tampan. Ia belum pernah bertemu pria ini, tapi ia merasa pernah mencium aroma ini. Aneta berusaha mengingat-ingat hingga Ia terkejut sendiri saat pria itu juga tengah memandangnya. Ini pria yang tadi pagi hampir ia tabrak. Dan juga pria yang tadi berdiri di pintu rumahnya. Astaga! Tiba-tiba Aneta merasa wajahnya sangat panas. Ia malu.
“Halo, apakah Ibu Hermin ada?” Aneta berusaha memulai pembicaraan. Suaranya terdengar kecil sekali.
“Tidak.” Jawab pria itu seperti tersadar dari lamunannya.
“Oh… maaf kalau boleh tahu Mas siapa?” Aneta terkejut sendiri dengan pertanyaannya. Kenapa dia jadi kepoh seperti istilah yang diberikan oleh teman-temannya kepada salah seorang teman kuliahnya dulu.
“Saya yang punya rumah ini. Kamu sendiri siapa?” Balas pria itu sambil membuka pintu lebih lebar lagi. Dia pemilik rumah ini? apakah mungkin dia anaknya Ibu Hermin yang baru pulang dari Aussie itu?
“Ehmm.., saya baru pindah ke kamar yang di sebelah itu. Perkenalkan nama saya Aneta.” Balas Aneta sambil mengulurkan tangan kanannya. Pria itu membalasnya dan mengatakan namanya. Namanya Daniel.
Aneta ingin mengajukan pertanyaan lebih lanjut kepada pria itu. Tapi, Ia teringat Traly yang pasti sudah sangat kesepian. Ia mengurungkan niatnya untuk menitipkan anjingnya. Traly tidak akan membuat kekacauan kalau ditinggalkan. Asalkan dia sudah diberi makan. Dia akan berpamitan saja kepada pria itu.
“Saya mau pamit. Mau pergi ke plaza sebentar.” Mungkin pria itu menangkap makna aneh dari kalimatnya, tapi ia tidak peduli. Dia hanya takut nanti Ibu Hermin mencarinya.
“Boleh saya ikut?” Daniel berlari mengejar Aneta setelah mengunci pintu rumah.
“Boleh.” Meskipun Aneta tahu jawabannya tidak terlalu dibutuhkan. Karena toh pria itu sudah ada di sampingnya. Dia hanya memakai kaos putih dan celana jeans pendek. Tapi bahkan pakaian yang sesederhana itu sudah membuatnya terlihat sangat rapi. Mereka pun berjalan beriringan menuju halte bus.

Ternyata wanita itu bernama Aneta. Dia bahkan terlihat sangat manis dari dekat. Pipinya bersemu merah. Semakin menawan saat lesung pipi menghiasi kedua pipinya. Mungkin ia teringat kejadian tadi. Daniel merasa marah kepada dirinya sendiri karena mengganggu kenyamanan wanita itu. Wanita itu akan ke plaza. Dia harus ikut. Mungkin ia bisa menebus kesalahannya dengan mengantarkan wanita itu ke plaza. Kasihan kalau seorang wanita itu pergi sendirian. Dia menanyakan apakah ia boleh ikut atau tidak. Tapi sebenarnya ia tidak memusingkan jawaban wanita itu. Kalau ia menolak pergi bersamanya, maka ia akan mencari alasan lain. Dia ingin mengenal wanita itu lebih dekat lagi. Ada apa dengannya? Kenapa dia bertingkah seperti anak SMA begini? Untung saja wanita itu tidak menolak keikutsertaannya.
Mereka berjalan menuju halte bus. Cukup susah memang kalau tidak mempunyai kendaraan sendiri. Mobil milik ayahnya telah dijual dengan alasan ingin mengurangi jumlah mobil di kota ini, supaya dapat mengurangi dampak global warming.
Ternyata Aneta pergi ke plaza hanya untuk membeli makanan anjingnya. Setelah mendapatkan apa yang ia cari, dengan senyum yang tiba-tiba membuat jantung Daniel menaikkan temponya ia menanyakan barang yang akan dicari oleh Daniel. Sekarang giliran Daniel yang memimpin jalan. Mereka menuju ke tempat alat elektronik, kemudian berhenti di salah satu toko handphone. Setelah mendapatkan apa yang ia cari, mereka pun meninggalkan tempat itu. Daniel tidak ingin cepat pulang, sehingga ia berhenti di depan sebuah toko ice cream.
“Apakah kamu tahu kalau ice cream di toko ini sangat enak?” kata Daniel sambil memandang toko yang ada di depannya dan tersenyum kepada Aneta.
“Masa sih? Memangnya kapan Mas Daniel terakhir makan ice cream di toko ini?” Balas Aneta sambil tersenyum.
“Ehmm.. mungkin sejak aku meninggalkan kota ini.” Daniel sempat terpana dengan senyum Aneta, namun akhirnya ia dapat mengontrol dirinya secepat yang ia harapkan.
“Aku nggak  tahu sudah berapa lama Mas Daniel meninggalkan kota ini, tapi sepertinya lama sekali. Dan.. baiklah, ini toko ini juga merupakan salah satu toko ice cream favoritku.” Daniel sempat merasa malu sendiri karena ternyata Aneta sudah cukup mengenal plaza ini. Namun dia juga senang karena mereka dapat menunda kepulangannya.
Beberapa jam bersama Aneta terasa sangat singkat. Saat ia melirik jam tangannya, ternyata mereka sudah berada di toko itu selama kurang lebih 1,5 jam. Di luar pasti sudah mulai gelap. Sudah pukul 18.00. Daniel masih ingin mendengarkan cerita dari wanita itu. Muka Aneta sangat ekpresif. Saat ia menceritakan mengenai siswanya yang menangis di pojok kelas karena masih ingin liburan, ia menunjukkan ekspresi sedih. Daniel lebih suka mendengarkannya. Sepertinya hal sesederhana apapun jika diceritakan olehnya akan menjadi sangat menarik. Mungkin itulah mengapa ia memilih menjadi guru sekolah dasar. Daniel menjadi bersemangat saat mendengar cerita-ceritanya. Namun tiba-tiba dia melihat jam tangannya dan mengajaknya pulang. Karena sudah hampir malam, Daniel pun menyetujui ajakannya.

Aneta
Wah ternyata pria itu tidak spserti sangkaannya. Saat mereka tiba di plaza, Aneta langsung menuju ke bagian swalayan. Ia mengira kalau Daniel akan pergi ke arah lain untuk mencari barang yang ia cari. Namun ternyata dia masih mengikuti di belakangnya. Setelah mendapatkan apa yang ia cari, akhirnya Aneta memberikan giliran kepada Daniel untuk memimpin langkah mereka. Ia menuju ke tempat elektronik. Kemudian mereka berhenti di salah satu toko. Petugas yang berbicara dengan Daniel mengeluarkan beberapa jenis charger handphone. Setelah menanyakan harganya, Daniel langsung membayar charger itu. Sekarang meerka berdua telah mendapatkan barang yang mereka butuhkan. Waktunya pulang. Tapi kenapa Daniel berhenti di depan sebuah toko ice cream? Aneta berdiri di sebelahnya dan berusaha mencari tahu apa yang sedang dipandangi oleh pria itu. Tiba-tiba dia menanyakan pernyataan bahwa ice cream di toko itu sangat enak. Aneta sering mengunjungi toko ini. Tentu saja ia tahu kalau ice cream di toko ini enak. Tapi Aneta sedikit mengerti maksud Daniel. Sepertinya pria itu sangat menginginkan makan ice cream itu. Karena berdiri terlalu lama di depan toko itu, Aneta jadi rindu makan ice cream. Akhirnya ia pun memutuskan untuk masuk ke toko itu. Ia memesan ice cream favoritnya, vabulo dan Daniel memesan mocabana. Menu ice cream  yang ada di toko itu memang unik. Namanya disusun berdasarkan rasa yang menyusun ice cream tersebut. Misalnya yang dipesan oleh Aneta, vabulo, berarti ice cream itu memiliki rasa vanilla, blueberry, dan orange (jeruk). Sementara ice cream yang dipesan oleh Daniel memiliki rasa mocha dan banana atau pisang. Aneta juga menyukai campuran rasa itu. Namun dia sedang tidak ingin memesan rasa itu saat ini.
Daniel ternyata orang yang cukup menyenangkan. Ia sangat bersemangat mendengarkan cerita-cerita Aneta. Meskipun sejak mereka datang tadi hanya Aneta yang banyak bercerita, tapi Aneta merasa sangat senang karena akhirnya ia bisa bercerita panjang lebar kepada orang lain. Well beberapa hari ini ia hanya bercerita kepada Traly, anjingnya. Sahabat-sahabatnya sedang sibuk dengan urusannya masing-masing. Aneta melirik jam tangannya. Wah, ternyata sudah pukul 18.00. Padahal ia tadi berencana tidak akan pergi lama. Akhirnya ia mengajak pulang Daniel. Ia masih merasa kenyang karena ice cream yang baru saja ia makan, jadi mungkin mala mini ia akan masak mie instan saja atau makan roti tawar yang selalu ia stok.
Hari sudah gelap. Traly pasti sudah ketakutan sendirian di rumah. Setelah berpamitan dengan Daniel, Aneta segera masuk ke dalam kosannya. Ternyata hewan itu sedang tertidur pulas di keranjangnya. Hewan yang pengertian sekali.
Aneta kemudian memasang kompor gasnya. Ia memang memiliki kompor gas yang tabung gasnya hanya berbentuk botol kecil. Kompor ini cukup praktis bagi anak kosan seperti Aneta. Bahkan teman kosnya yang dulu pernah menyebut kompor gasnya ini sebagai kompor portabel.
Setelah mengambil air mentah, ia kemudian merebusnya. Aneta membuka pintu kosannya supaya aromanya tidak memenuhi kamarnya.
“Sedang ngapain kamu, Aneta?” Daniel tiba-tiba muncul di pintu. “Aku mencium aroma mie.” Sambungnya.
“Wah, Mas Daniel. Bikin saya kaget aja.” Aneta cukup terkejut dengan sapaan pria itu. Namun ia menyadari keterkejutannya dan menyalahkan dirinya sendiri. Tentu saja pria ini bisa muncul tiba-tiba. Inikan rumahnya. “Iya nih, mau?”.
No thanks. Aku ga bisa makan mie instan sejak lulus SMP.” Sahut Daniel. Pria itu masih berdiri di depan pintu. “Aku ga disuruh masuk, nih.” Sambungnya.
“Aduh, sorry, Mas. Silahkan masuk.” Aneta kemudian berdiri dan mempersilahkan masuk pria itu. “Anggap saja rumah sendiri.” Gurau Aneta sambil kembali mengaduk mienya.’
“Ngomong-ngomong, kenapa Mas ga bisa makan mie instan lagi?” Aneta sering mendengar beberapa temannya yang tidak bisa makan mie instan lagi, padahal mereka sangat ingin menikmati makanan yang aromanya selalu menggoda mereka itu.
“Dulu aku sering sekali makan mie instan. Mulai dari yang dibuat jadi omelet hingga yang hanya direbus saja. Tapi kemudian gara-gara aku terlalu sering makan, maagku jadi parah. Aku sampai harus diopname gara-gara itu.” Jelas Daniel sambil mengamati Aneta menuangkan mie instannya.
“Jadi semenjak itu ga bisa makan lagi?” Tanya Aneta. Dia sudah siap menikmati mie rebusnya.
“Sebenarnya bisa, hanya aku saja yang berusaha melarang diriku supaya ga makan lagi.” Daniel sedang mengamati mie instan Aneta yang ada di depannya. Terlihat sangat nikmat. Apalagi aromanya menggoda sekali. “Tapi lihat kamu makan cacing dalam perutku jadi berontak.”
“Hahaha, ga nahan ya?” Goda Aneta sambil tersenyum jahil kepada Daniel. “Aku bagi deh.” Aneta kemudian mengambil mangkok yang ada di pojok ruangan. Dia lalu mengambil sebagian mie instannya.
“Biasanya bisa kok.” Daniel mencoba untuk membela dirinya. Kemudian mengambil mangkok yang diberikan Aneta.
Aneta hanya tersenyum menanggapi pembelaan Daniel. “Ayo, kita makan.”

“Oh ya, Mas. Tadi pagi Mas yang nganterin welcoming letterku ya? Makasih banyak ya, Mas. Kalau ga ada surat itu, aku bisa mati gaya di depan anak-anakku.” Mereka sudah menghabiskan mie instan mereka. “Sebagai balasannya, kalau Mas butuh bantuanku, bilang aja ya. Aku akan dengan senang hati membantu.” Aneta memberikan senyuman tulusnya saat mengatakan kata terakhir.
“Wah, kebetulan sekali kalo gitu.” Daniel membalas senyum Aneta sambil menjentikkan jarinya. “Weekend ini ada acara ga?” Daniel terlihat sangat bersemangat.
“Weekend? Ga kok.” Jawab Aneta terlihat penasaran dengan penjelasan Daniel.
“Ok. I need you this weekend.” Pria itu kemudian berdiri dan akan beranjak keluar.
Aneta menahannya. Tidak mengerti dengan apa yang harus Ia kerjakan. “So, what can I do for you, Sir.”
“Begini, weekend ini kakak sepupuku menikah. I need you to be my partner. Bisa?” Jawab Daniel dengan raut muka serius.
“Wow, gak apa-apa tuh?” Aneta sedikit bimbang. Pasalnya, yang akan datang ke pesta itu pasti seluruh kerabat Daniel. Ia bukanlah siapa-siapa pria itu. Ia hanya penghuni kosan milik Ibunya. Tapi ia sudah berjanji akan membantunya.
Daniel melihat rona kebingungan di wajah Aneta. “Hei, you have promised to me. C’mon, it’s just wedding. Orang ga akan berpikiran seperti yang kamu pikirkan.” Aneta sangat terkejut karena seolah Daniel bisa membaca pikirannya. 
“Baiklah.” Sebenarnya Aneta cukup ragu dengan keputusannya. Tapi ia sudah berjanji, jadi ia harus menepatinya. “Jam berapa?” Lanjutnya.
“Sebenarnya dari 10.00. Karena ada dua bagian acara. Tapi kalau kamu ga mau ikut semuanya, kamu nanti bisa kujemput jam 14.00.” Daniel terlihat bersemangat. Mungkin setelah ia menikmati mie instan yang sudah tidak disantapnya selama beberapa tahun terakhir ini.
“Ok, jam 14.00.” Ia akan memakai baju apa nanti. Sudah lama ia tidak pergi ke pesta.
Anyway thanks ya buat mienya.” Seru Daniel saat akan kembali ke rumahnya.
“Ya, lain kali Mas yang traktir aku mie instan.” Guraunya
“Ok.” Daniel berkata sambil mengacungkan jari jempolnya.
Aneta kemudian membereskan kamarnya dan hanyut dalam kesibukannya untuk hari esok.

To be continue ...